Monday, November 11, 2013

Skripsi Psikologi : HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN KECEMASAN PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNJANI YANG SEDANG MENGERJAKAN SKRIPSI


Dikumpulkan tanggal

Diserahkan pada :



31 Mei 2013

Vera Angliani J., M.Psi


HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN KECEMASAN PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNJANI YANG SEDANG MENGERJAKAN SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Metodologi Penelitian


Disusun oleh :
ADE PURNAMA YUDHA PUTRA
7111101157
KELAS 6 C


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2013



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Masalah
Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan tinggi yang merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah dijalur pendidikan sekolah. Sedang orang yang belajar diperguruan tinggi dikenal sebagai mahasiswa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990).
Seseorang yang belajar di perguruan tinggi memiliki beragam alasan, antara lain: mempersiapkan diri untuk karir khusus atau mencapai kualifikasi profesional yang akan membantu dalam karir yang telah ditempuh; belum jelas apa yang dilakukan tetapi yakin bahwa gelar/kualifikasi dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang baik; betul-betul berminat pada pengetahuan yang bersangkutan; ingin menjadi mahasiswa dan sekaligus memberi waktu untuk memikirkan masa depan; terpaksa karena dituntut oleh lingkungan; menjadi mahasiswa merupakan cara untuk menunda keputusan dalam hidup atau alternatif yang lebih baik daripada menganggur atau pekerjaan yang membosankan (Wright dalam Zarfiel, 2001). Ditambahkan pula oleh Ganda (1992) bahwa tujuan mahasiswa adalah untuk mencapai dan meraih taraf keilmuan yang matang, artinya ia ingin menjadi sarjana yang menguasai sesuatu ilmu serta memahami wawasan ilmiah yang luas, sehingga mampu bersikap dan bertindak ilmiah dalam segala hal yang berkaitan dengan keilmuannya, untuk diabdikan kepada masyarakatnya dan umat manusia. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, terlihat bahwa perguruan tinggi merupakan suatu tempat di mana para mahasiswa belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depannya.
Salah satu persyaratan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah pembuatan skripsi. Namun, ada juga beberapa perguruan tinggi yang mewajibkan mahasiswanya untuk membuat tugas karya akhir sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjananya. Tugas karya akhir merupakan suatu hasil pemikiran dan analisis penulis terhadap suatu objek atau masalah, biasanya berbentuk kajian literatur yang dibuat berdasarkan kekhasan keilmuan masing-masing program studi. Sedang skripsi merupakan suatu bentuk karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan akademisnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990).
Setiadi, Matindas, dan Chairy (1998) menyatakan bahwa skripsi merupakan karya tulis dan penelitian mandiri mahasiswa, sebagai suatu karya mandiri maka skripsi harus merupakan karya yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda dari skripsi mahasiswa lainnya, terutama dalam masalah penelitian, metode penelitian, dan kesimpulan yang dibuat. Kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh mahasiswa.
Lamanya waktu penulisan skripsi yang diberikan adalah selambat - lambatnya dua semester. Namun, pada kenyataannya masih banyak mahasiswa yang mengerjakan skripsi dalam waktu yang lebih lama dari yang ditentukan. Banyak faktor yang mungkin bisa menyebabkan hal ini terjadi. Salah satunya adalah karena mahasiswa tersebut merasa bahwa pembuatan skripsi itu memang susah, sehingga mereka membutuhkan waktu yang lebih lama dari yang diberikan. Toleransi terhadap waktu pengerjaan skripsi ini diberikan oleh dekan dengan melihat perkembangan penulisan skripsi (Setiadi, Matindas, & Chairy, 1998). Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, skripsi merupakan sebuah tugas mandiri sebagai salah satu syarat kelulusan bagi seorang mahasiswa, tentulah mempunyai tujuan. Adapun tujuannya itu adalah (Djarwanto, 1995) :untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah secara ilmiah serta juga untuk mengevaluasi keterampilan metodologi penelitian dari mahasiswa. Namun, pada tiap fakultas memiliki tujuan penulisan skripsi yang berbeda-beda pula. Hal ini dikarenakan perbedaan bidang keilmuan yang dipelajari, sehingga dalam tujuan penulisan skripsinya lebih ditekankan pada karektiristik ilmu dari masing-masing fakultas.
Seperti pada fakultas psikologi tugas penulisan skripsi memiliki tujuan sebagai berikut: untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah psikologi secara ilmiah, untuk mengevaluasi ketrampilan mahasiswa dalam menerapkan metode penelitian secara benar, untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam melakukan penalaran secara logis serta melakukan analisis sintesis terhadap gejala-gejala psikologis yang ada, dan untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam menyampaikan hasil penelitian secara tertulis (Setiadi, Martindas, & Chairy,1998). Hal itu tentu menimbulkan perasaan yang berbeda-beda pada setiap mahasiswa yang menghadapinya. Ada yang merasa bahwa skripsi sebagai suatu hal yang memang harus dilewati sebagai bagian dari pendewasaan diri, ada yang merasa bahwa hal itu adalah “momok” dan menyebabkan ketakutan, ada yang berupaya mengerjakan secara cepat sehingga dapat cepat pula terbebas dari beban yang ada, sampai ada yang terkesan seperti “melarikan diri dari kenyataan” (Komunikasi personal, 2006).
Salah satu keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam proses penyelesaian skripsi, selain keterampilan untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut ilmiah. Menulis laporan ilmiah, menurut Dominice dalam bukunya yang berjudul “Learning from our lives” (2000)- merupakan sebuah kewajiban rutin bagi seseorang yang menempuh pendidikan pada jenjang universitas. Hal itu dapat menimbulkan kecemasan bagi kebanyakan mahasiswa, yang oleh Dominice disebut dengan writing anxiety. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Primusanto (2000) terhadap mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan mahasiswa pada saat pembuatan skripsi dengan tingkat kecemasannya sehari-hari atau normal. Hal ini bisa saja terjadi karena mahasiswa tersebut merasa terbebani dengan tugas pembuatan skripsi yang nantinya akan menjadi bahan evaluasi kelulusan Selama menuntut ilmu di perguruan tinggi, mahasiswa diberikan waktu masa studi. Biasanya masa studi maksimal yang diberikan selama 6 tahun. Secara normal mahasiswa membutuhkan waktu hanya selama 4 tahun atau 8 semester untuk dapat menyelesaikan kuliahnya. Bagi mahasiswa yang melebihi waktu normal atau yang lebih dikenal dengan istilah mahasiswa tidak tepat waktu, tentunya akan mengalami tekanan yang berlebih selama menuntut ilmu. Terutama lagi jika mereka sudah menghadapi masa-masa deadline, karena jika tidak dapat menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang tersisa maka mereka akan droup out. Hal ini akan semakin dirasakan menekan pada saat-saat harus mengerjakan skripsi, karena waktu yang mereka miliki semakin sempit. Sementara itu, proses pembuatan skripsi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Menurut hasil wawancara terhadap 10 orang mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achamad Yani yang sedang mengerjakan skripsi mereka merasa seperti berkejar-kejaran dengan waktu dalam mengerjakan skripsi. Kondisi seperti ini tentulah dapat meningkatkan kecemasan yang mereka rasakan.
Kecemasan adalah sebuah keadaan yang tidak jelas, ketakutan terhadap sesuatu yang tidak terdefinisikan, atau perasaan ketakutan (Morgan, King, Weisz, dan Schopler, 1986). Kowalski (dalam Santrock, 2001) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan yang samar, perasaan tidak nyaman yang tinggi berkaitan dengan ketakutan dan keprihatinan. Secara umum, seseorang dapat mengetahui apa yang ditakutkannya dan bagaimana menanganinya, tetapi orang yang mengalami kecemasan dapat merasakan bahaya tanpa mengetahui apa dan bagaimana menangani ketakutannya (Atwater, 1983). Kecemasan memiliki dua elemen utama, yaitu: ketakutan terhadap beban persyaratan eksternal yang dilihat sebagai sebuah ancaman, dan kekhawatiran mengenai kapasitas untuk menanggulanginya (Rogers, 1996). Terkadang ketakutan dan kecemasan dapat dialami secara bersamaan, sehingga seorang mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang tinggi dalam menghadapi ujian kesarjanaannya akan menjadi sangat ketakutan terhadap ujian tersebut (Atwater, 1983). Ditambahkan pula oleh Pervin dan John (1997) bahwa yang mendasari kecemasan bukan diakibatkan oleh kejadian yang mengancam, tetapi lebih kepada persepsi mengenai ketidakmampuan diri dalam mengatasinya. Terkait dengan pengerjaan skripsi, seringkali mahasiswa memiliki persepsi bahwa dia tidak mampu untuk menyelesaikan tugas pembuatan skripsinya, sehingga timbullah perasaan cemas. Persepsi atau keyakinan terhadap ketidak mampuan diri ini berkaitan erat dengan tinggi atau rendahnya tingkat self efficacy mahasiswa tersebut.
Self efficacy adalah penilaian seseorang tentang apa yang dapat ia lakukan dengan ketrampilan apapun yang dimilikinya (Bandura, 1986). Lebih lanjut lagi, Bandura (dalam Schultz dan Schultz, 2005) menyatakan bahwa self efficacy merupakan sebuah bentuk persepsi yang berkaitan dengan kontrol yang dipunyai oleh seseorang dalam hidupnya. Schultz dan Schultz (2005) menyimpulkan adanya perbedaan antara orang yang memiliki self efficacy rendah dan tinggi. Seseorang yang memiliki self efficacy rendah akan cenderung merasa helpless, tidak mampu melakukan pengaturan pada keadaan yang terjadi dalam hidupnya.  Pada saat mereka menghadapi hambatan, mereka akan dengan cepat menyerah, bila pada usaha pertama sudah mengalami kegagalan. Seseorang yang memiliki self efficacy sangat rendah tidak akan melakukan upaya apapun untuk mengatasi hambatan yang ada, karena mereka percaya bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak akan membawa pengaruh apapun. Self efficacy yang rendah dapat merusak motivasi, menurunkan aspirasi, mengganggu kemampuan kognitif, dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan fisik.
Di sisi lain, seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya bahwa mereka dapat menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang tinggi berkaitan dengan kemampuan mereka dibanding dengan orang yang memiliki self efficacy rendah, dan mereka hanya menunjukkan sedikit keraguan terhadap diri sendiri. Mereka melihat kesulitan yang ada adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan sebagai sesuatu yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha menemukan situasi - situasi baru. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan, meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian masalah, dan kemampuan berpikir analitis. Dalam proses pembuatan skripsi mahasiswa diharapkan memiliki self efficacy yang tinggi agar memberikan hasil unjuk kerja yang baik yaitu penyelesaian pembuatan tugas skripsinya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bandura dan Locke; Stajkovic dan Luthans (dalam John, 2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat tinggi antara self efficacy dengan performance. Semakin tinggi self efficacy maka semakin baik pula hasil kerja seseorang.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dari 10 (angkatan 2009) orang mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi di dapat data mengenai symptom kecemasan yang muncul sebagai berikut.
Simptom
Banyaknya mahasiswa yang merasakan
Keluarnya keringat dingin saat hendak bimbingan skripsi.
8 orang.
Sulit untuk berkonsentrasi saat mengerjakan skripsi.
6 orang.
Sering mengepalkan tangan atau menggerak – gerakan kakinya saat hendak bimbingan skripsi.
3 orang.
Jantung merasa berdegup lebih kencang ketika bimbingan skripsi.
3 orang.

Dari hasil interview dari 10 orang (angkatan 2009) mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi menyatakan bahwa mereka menetapkan target untuk menyelesaikan skripsi ( 4 orang), mereka menetapkan target agar bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu. Dan 6 orang lainnya yang tidak menetapkan target karena merasa bahwa dosen pembimbing akan membantu dan  cenderung merasa tergantung dengan dosen pembimbing dengan target waktu penyelesaian skripsi. Dan dari 10 orang yang diinterview, 5 orang menyatakan bahwa ia yakin akan menyelesaikan skripsi tepat waktu dan tidak telat untuk wisuda.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa kecemasan pada mahasiswa yang sedang membuat skripsi itu dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh beban yang dirasakan bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana persepsi mahasiswa terhadap kemampuan dia untuk menyelesaikan tugas skripsi tersebut yang merupakan self efficacy. Sehingga penulis merasa tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Ditambahkan pula pada penelitian ini ingin dilihat seberapa besar tingkat kecemasan mahasiswa saat mengerjakan skripsi.

1.2.  Identifikasi Masalah
Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya bahwa mereka dapat menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang tinggi berkaitan dengan kemampuan mereka dibanding dengan orang yang memiliki self efficacy rendah, dan mereka hanya menunjukkan sedikit keraguan terhadap diri sendiri. Mereka melihat kesulitan yang ada adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan sebagai sesuatu yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha menemukan situasi - situasi baru. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut akan kegagalan, meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian masalah, dan kemampuan berpikir analitis. Dalam proses pembuatan skripsi mahasiswa diharapkan memiliki self efficacy yang tinggi agar memberikan hasil unjuk kerja yang baik yaitu penyelesaian pembuatan tugas skripsinya. Semakin tinggi self efficacy maka semakin baik pula hasil kerja seseorang.
Kecemasan pada mahasiswa yang sedang membuat skripsi itu dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh beban yang dirasakan bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana persepsi mahasiswa terhadap kemampuan dia untuk menyelesaikan tugas skripsi tersebut yang merupakan self efficacy. Sehingga penulis merasa tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi terutama dalam proses bimbingan skripsi.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini berusaha untuk memperoleh gambaran tentang: “Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi?”

1.3.  Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data – data empiris mengenai self efficacy dan kecemasan sesaat yang muncul pada aktivitas mengerjakan skripsi khususnya pada saat bimbingan skripsi.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada proses bimbingan skripsi.

1.4.  Manfaat dan Kegunaan
1.4.1.      Manfaat Praktis
Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini dapat membantu memberikan informasi bagi mahasiswa psikologi Universitas Jenderal Ahmad Yani yang sedang mengerjakan skripsi untuk lebih memahami serta meningkatkan self efficacy mereka dalam mengerjakan skripsi, serta mampu untuk mengatasi dan mencegah hal – hal yang bisa memunculkan kecemasan saat mengerjakan skripsi.
1.4.2.      Manfaat Teoritis
a.       Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk dapat lebih mengetahui dan memahami teori Psikologi Klinis yang membahas mengenai kecemasaan sesaat dari Spielberger (1972) serta teori Psikologi Sosial mengenai self efficacy dari Bandura.
b.      Penelitian ini berguna untuk menambah pengembangan keilmuwan dan pengetahuan mengenai keyakinan kemampuan diri (self efficacy) dan kecemasan sesaat (state anxiety).

1.5.  Kerangka Pikir
Di dalam perkuliahan seorang mahasiswa terutama mahasiwa fakultas psikologi unjani dituntut untuk mampu membuat skripsi sebagai salah satu persyaratan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah pembuatan skripsi. Skripsi merupakan sebuah tugas akhir seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar strata 1.
Skripsi merupakan karya tulis dan penelitian mandiri mahasiswa, sebagai suatu karya mandiri maka skripsi harus merupakan karya yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda dari skripsi mahasiswa lainnya, terutama dalam masalah penelitian, metode penelitian, dan kesimpulan yang dibuat. Kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh mahasiswa.
Ketika individu (mahasiswa) dihadapkan dengan situasi yang di dalamnya terdapat suatu tuntutan tertentu, maka individu (mahasiswa) akan melakukan penilaian kognitif (cognitive appraisals). Jika tuntutan dari tugas pembuatan skripsi dinilai mengancam bagi individu maka individu itu tersebut dapat merasakan kecemasan, begitu juga sebaliknya. Dimana aktivitas penyusunan skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan salah satu contoh situasi yang didalamnya terdapat suatu tuntutan yang harus dilakukan oleh mahasiswa, yaitu memiliki keterampilan untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut ilmiah. Oleh karena itu aktivitas penyusunan skripsi oleh mahasiswa, dapat menimbulkan kecemasan bagi mahasiswa tersebut.
Menurut Spielberger (1972) kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang di sertai dengan perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai “tekanan”, “ketakutan”, dan “kegelisahan”. State anxiety didefinisikan sebagai emosi tidak menyenangkan karena dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Lebih lanjut lagi, Spielberger menggambarkan state anxiety seperti halnya menggambarkan kekhawatiran. Khawatir menunjukan komponen kognitif dari pengalaman kecemasan. Individu merespon sesuatu yang mengancam dengan rasa khawatir tentang situasi bahaya yang akan di hadapi dan mereka merasa tidak mampu untuk menghadapi hal yang mengancam tersebut.
Kecemasan sesaat (A-state) tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas dan setiap saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di konseptualiskan sebagai munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan takut (apprehension) yang di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
State anxiety adalah kondisi emosional yang sementara atau sesaat pada individu yang bersifat subjektif, karena adanya ketegangan dan kekhawatiran serta menghasilkan akifitas sistem saraf otonom. State anxiety memiliki variasi intensitas dan derajat yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi individu. State anxiety memberikan gambaran kecemasan yang di hayati sehubungan dengan penghayatan individu terhadap situasi yang akan menimbulkan kecemasan, dalam hal ini situasi dalam penyusunan dan bimbingan skripsi.
Dalam aktivitas penyusunan dan bimbingan skripsi menuntut mahasiswa memiliki ketrampilan tertentu untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut ilmiah. Tuntutan ini dapat dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang tidak menyenangkan bagi mahasiswa yang melakukan aktivitas penyusunan skripsi sehingga hal ini dapat meningkatkan intensitas situasi emosional yang di tandai dengan adanya ketegangan atau kekhawatiran, serta peningkatan kegiatan saraf otonom yang merupakan tanda kecemasan sesaat. Dimana state anxiety dikonsepkan sebagai keadaan emosional sesaat dimana kadarnya akan meningkat dalam keadaan yang dianggap semakin mengancam dan kadarnya semakin menurun dalam keadaan yang semakin tidak mengancam.
Fokus dari teori yang dikemukakan oleh spielberger adalah pentingnya penilaian kognitif (cognitive appraisals) dalam memunculkan kecemasaan sesaat. Proses yang terjadi adalah sebgai berikut ; penilaian kognitif seseorang terhadap stimulus internal ( berupa pikiran, perasaan, maupun kebutuhan biologisnya) dan stimulus eksternal yang ditangkapnya sebagai stressor dipengaruhi tingkat kecemasan dasarnya di dalam memunculkan kecemasan ini sampai pada tingkah laku dan munculnya mekanisme pertahanan diri.
Stimulus eksternal (stressor) dalam penelitian ini adalah aktivitas penyusunan dan bimbingan tugas skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa, dimana aktivitas ini memiliki komponen – komponen khas yang membedakannya dengan tugas biasa, dimana kekhasan ini menuntut mahasiswa memiliki ketrampilan tertentu untuk menemukan permasalahan yang menarik, kemampuan untuk memahami teori, pemilihan metode penelitian yang tepat, mahasiswa juga dituntut ilmiah. Masing – masing mahasiswa dalam aktivitas ini memiliki harapan tertentu yang ingin dicapai, dimana harapn ini yang menjadi alasan penyusunan skripsi mereka, sehingga tercapai atau tidaknya harapan ini dapat ditunujukan baik secara verbal maupun nonverbal.
Selain hal tersebut, dalam aktivitas penyusunan dan bimbingan skripsi kepada dosen pembimbing, kelemahan – kelemahan diri yang dianggap penting oleh mahasiswa memiliki peluang untuk tampak dan bisa diamati oleh orang lain. Oleh karena itu, aktivitas ini secara potensial ditangkap sebagai sebagai suatu stressor oleh mahasiswa, sedangkan stimulus internal adalah dirinya. Penilaian kognitif terhadap kedua stimulus ini (internal dan eksternal) dengan dipengaruhi oleh kecemasan dasarnya kemudian muncul dala bentuk kecemasan sesaat. Dimana kecemasan sesaat dalam hal ini adalah kecemasan ketika akan bimbingan skripsi, yang dimanifestasikan dalam tingkah laku berupa cemas, tegang, takut, gugup yang ditandai dengan keluarnya keringat, jantung berdebarketika individu melakukan maupun sekedar mengantisipasi aktivitas penyusunan skripsi sebagai stimulus eksternal (stressor).
Skripsi merupakan suatu bentuk karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan akademisnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990). Dalam aktivitas ini terdapat tuntutan – tuntutan tertentu dimana seorang mahasiswa diharapkan kemandirian dalam penulisan skripsi juga berarti bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan laporan penelitian semuanya dilakukan oleh mahasiswa. Suatu aktivitas yang didalamnya terdapat tuntutan tertentu maka penilaian seseorang mahasiswa terhadap keyakinan diri akan kemampuan dirinya untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang di inginkan dalam aktivitas presentasi tersebut turut berperan (self efficacy).
Albert Bandura mendefiniskan “ self efficacy as beliefs in one’s capabilities to organize and execute the courses of action required to produce given attainments (Bandura, 1997 “), yaitu bahwa self efficacy adalah keyakinan dalam diri seseorang mengenai kemampuannya untuk mengorganisir dan melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Bandura,1997). Yaitu dapat menampilkan perilaku yang dibutuhkan dalam mencapai tampilan atau hasil yang diinginkan dalam mencapai tampilan atau hasil yang diinginkan dari tuntutan tugas akademik yang di berikan. Self efficacy tersebut mempengaruhi persepsi, motivasi dan tindakannya dalam berbagai cara, termasuk dalam kemampuan akademiknya.
Selain kemampuan akademik, seorang mahasiswa juga dituntut untuk yakin pada kemampuan yang dimilikinya ketika melaksanakan tuntutan akademik yaitu mengidentifikasi dan memecahkan masalah psikologi secara ilmiah, untuk menerapkan ketrampilan mahasiswa dalam menerapkan metode penelitian secara benar, untuk menerapkan kemampuan mahasiswa dalam melakukan penalaran secara logis serta melakukan analisis sintesis terhadap gejala-gejala psikologis yang ada, dan untuk menerapkan kemampuan mahasiswa dalam menyampaikan hasil penelitian secara tertulis, maupun tuntutan lingkungannya yaitu mampu mengemukakan ide dan penelitiannya serta dapat mengkomunikasikan secara tertulis apa yang menjadi gagasan penelitiannya sehingga dapat berguna bagi masyarakt. Yakin akan kemampuan yang dimilikinya ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi ini dikenal dengan self efficacy. Tinggi rendahnya keyakinan akan kemampuan diri dalam menhadapi dan melaksanakan tuntutan ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi tersebut berdampak juga pada tinggi rendahnya derajat kecemasan yang dirasakan oleh seorang mahasiswa. Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan membangun lebih banyak kemampuan – kemampuan melalui usaha – usaha mereka terus menerus, sedangkan self efficacy yang rendah akan menghambat dan memperlambat perkembangan dari kemampuan – kemapuan yang di butuhkan seseorang.
Albert bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy bersumber dari beberapa faktor, yaitu :
(1)   Pencapaian pengalaman secara aktif (enactive mastery experience)
(2)   Belajar dari pengalaman orang lain (vicarious experience)
(3)   Pengalaman persuasif verbal (persuasive  experience)
(4)   Pembangkit fisiologis (physiological and affective state)
Kemudian bandura mengatakan bahwa terdapat beberapa aspek (dimensi) yang dapat menentukan self efficacy seseorang, yaitu :
a.       Magnitude of self efficacy yaitu keyakinan akan tingkat kesulitan tugas. Hal ini berdampak pada pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas (level of difficulty). Individu akan mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya. Keyakinan mahasiswa akan sejauh mana kemampuannya untuk dapat mengatasi kesulitan dan tantangan dari tugas yang dihadapi berkaitan dengan aktivitas penyusunan skripsi. Mahasiwa dengan magnitude yang tinggi akan merasa yakin bahwa ia mampu menjalankan aktivitas penyusunan skripsi sekalipun cukup sulit dan dapat menetapkan target atau tujuan yang menantang untuk dicapai. Sedangkan mahasiswa dengan magnitude yang rendah meyakini bahwa ia hanya mampu melakukan tugas – tugas yang ringan dan tidak merasa tertantang untuk menetapkan suatu tujuan atau target tertentu dalam melakukan aktivitas penyusunan skripsi karena merasa dirinya tidak mampu dan tidak siap menerima kegagalan.
b.      Strength of self efficacy yaitu sejauh mana kekuatan akan keyakinan individu mengenai kompetensi diri dikaitkan dengan tingkat kesulitan akan tugas atau  situasi pekerjaan yang di persepsikan. Mahasiswa dengan strength yang tinggi akan meningkatkan usaha ketika mengalami kegagalan dan tetap focus pada aktivitas penyusunan skripsi tersebut ketika menemui hambatan. Sedangkan mahasiswa yang memiliki strength of self efficacy yang rendah tidak dapat bertahan ketika menghadapi hambatan atau kegagalan. Pa menjadi lebih pesimis dan cenderung ragu – ragu.
c.     Generality of self efficacy yaitu keyakinan akan kemampuannya dalam menggeneralisasikan tugas – tugas dan pengalaman – pengalaman sebelumnya untuk menghadapi tugas atau pekerjaan lain. Atau dengan kata lain sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas tertentu hingga dalam serangkaian tugas atau situasi yang bervariasi. Seorang mahasiswa yang memiliki generality yang tinggi akan menggunakan pengalamn untuk menampilkan perilaku yang lebih dan menjadikan pengalaman sebagai hal yang berharga untuk mencapai kesuksesan di masa mendatang. Sedangkan mahasiswa dengan generality yang rendah cenderung tidak mampu menggunakan penglamnnya untuk menampilkan perilaku yang dibutuhkan saat ini bahkan menjadikan kegagalan sebagai penghambat bagi dirinya untuk meraih kesuksesan tersebut ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi.
Individu memiliki kecenderungan meragukan kemampuannya dirinya untuk melaksanakan tugas yang ada. Individu dengan self efficacy yang rendah sering kali menganggap segala sesuatu sangat sulit dan mereka sukar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada sehingga membuatnya menjadi cemas. Hal ini disebabkan karena ia menghayati dirinya dalam keadaan yang mengancam sehingga menimbulkan kecemasan. Hal ini menunjukan peran self efficacy dalam menculnya kecemasan. Adapun uraian kerangka pikir yang telah dijelaskan di atas tergambar dalam bagan berikut :




 










Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka peneliti dapat mengasumsikan bahwa :
·         Tuntutan dalam melakukan suatu aktivitas penyusunan skripsi yang harus dijalani dan dipenuhi oleh mahasiwa dapat membuat mahasiswa yang memiliki keyakinan akan kemampuan diri yang rendah memiliki penilaian terhadap aktivitas penyusunan skripsi sebagai sesuatu yang mengancam sehingga memunculkan kecemasan sesaat dalam diri mahasiswa tersebut.
·         Kecemasan yang terjadi pada mahasiswa ketika melakuaka aktivitas bimbingan skripsi, dapat dikarenakan oleh suatu faktor internal mahasiswa seperti keyakinan akan kemampuan diri, dan cara berpikir mahasiswa tersebut.
·         Mahasiswa yang memiliki keyakinan dalam memenuhi tuntutan penyusunan dan bimbingan skripsi, menguasi kondisi yang mungkin muncul ketika mengerjakan skripsi, menilai skripsi sebagai suatu kondisi yang menantang, memiliki minat yang besar, mampu menetukan target, serta mampu mengeneralisasikan tugas atau pengalaman bimbingan sebelumnya menunjukan bahwa mahasiswa tersebut memiliki self efficacy yang tinggi.
·         Mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung memiliki penilaian terhadap aktivitas penyusunan skripsi sebagai sesuatu yang menantang sehingga memiliki tingkat kecemasan yang rendah ketika melakukan aktivitas penyusunan skripsi. Begitu juga sebaliknya.

1.6.  Hipotesa Penelitian
Dari penjelasan kerangka pikir di atas, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah : “Terdapat hubungan negative antara self efficacy dengan kecemasan sesaat (state anxiety) pada mahasiswa Fakultas psikologi ketika sedang mengerjakan skripsi”.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Dasar Teori Self Efficacy
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai definisi self efficacy, fungsi self efficacy, dan faktor yang mempengaruhi self efficacy.

2.1.1. Definisi Self Efficacy
Self efficacy menurut Bandura (1997) didefinisikan sebagai: “perceived self efficacy refers to beliefs in one’s capabilities to organize and executer the courses of action required to produce given attainments “.
Sejalan dengan itu, Myers (1994) menyatakan bahwa self efficacy adalah: “A sense that one is competent and effective. Distinguished from self esteem, a sense of one’s self worth. A bombardier might feel high self efficacy and low self esteem”(hal 81).
Panjares (dalam Woolfolk, 2004) menambahkan bahwa self efficacy adalah: sebuah penilaian spesifik yang berkaitan dengan konteks mengenai kompetensi untuk mengerjakan sebuah tugas spesifik. Woolfolk (2004) juga menyebutkan bahwa self efficacy adalah kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam sebuah situasi khusus.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah penilaian seseorang tentang apa yang dapat dilakukan dengan ketrampilan apapun yang dimilikinya. Penilaian atau perasaan itu berkaitan dengan kompetensi dan efektifitas.

2.1.2. Fungsi Self Efficacy
Self efficacy yang dipersepsikan tidak hanya sekedar perkiraan tentang tindakan apa yang akan dilakukan pada masa mendatang (Bandura, 1986). Keyakinan seseorang mengenai kemampuan diri juga berfungsi sebagai suatu determinan bagaimana individu tersebut berperilaku, berpola pikir, dan bereaksi emosional terhadap situasi-situasi yang sedang dialami. Keyakinan diri juga memberikan kontribusi terhadap kualitas dari fungsi psikososial seseorang.
Bandura (1986) menjelaskan fungsi dan berbagai dampak dari penilaian self efficacy antara lain sebagai berikut:
a.       Perilaku memilih.
Dalam kehidupan sehari-hari, individu seringkali dihadapkan dengan pengambilan keputusan, meliputi pemilihan tindakan dan lingkungan sosial yang ditentukan dari penilaian efficacy individu. Seseorang cenderung untuk menghindar dari tugas dan situasi yang diyakini melampaui kemampuan diri mereka, dan sebaliknya mereka akan mengerjakan tugas-tugas yang dinilai mampu untuk mereka lakukan (Bandura, 1977b, dalam Bandura, 1986). Self efficacy yang tinggi akan dapat memacu keterlibatan aktif dalam suatu kegiatan atau tugas yang kemudian akan meningkatkan kompetensi seseorang. Sebaliknya, self efficacy yang rendah dapat mendorong seseorang untuk menarik diri dari lingkungan dan kegiatan sehingga dapat menghambat perkembangan potensi yang dimilikinya.
Seseorang yang memiliki penilaian self efficacy-nya secara berlebihan cenderung akan menjalankan kegiatan yang jelas di atas jangkauandengan kegagalan kemampuannya. Akibatnya dia akan mengalami kesulitan-kesulitan yang berakhir yang sebenarnya tidak perlu terjadi, dan hal ini bisa mengurangi kredibilitasnya. Sebaliknya, seseorang yang menganggap rendah kemampuannya juga akan mengalami kerugian, walaupun kondisi ini lebih seperti memberi batasan pada diri sendiri daripada suatu bentuk keengganan. Melalui kegagalan dalam mengembangkan potensi kemampuan yang dimiliki dan membatasi kegiatan-kegiatannya, seseorang dapat memutuskan dirinya dari banyak pengalaman berharga. Seharusnya ia berusaha untuk mencoba tugas-tugas yang memiliki penilaian yang penting, tetapi ia justru menciptakan suatu halangan internal dalam menampilkan kinerja yang efektif melalui pendekatan dirinya pada keraguan (Bandura, 1986).
b.      Usaha yang dilakukan dan daya tahan
Penilaian terhadap efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang akan dilakukan seseorang dan seberapa lama ia akan bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Semakin tinggi self efficacy seseorang, maka akan semakin besar dan gigih pula usaha yang dilakukan. Ketika dihadapkan dengan kesulitan, individu yang memiliki self efficacy tinggi akan mengeluarkan usaha yang besar untuk mengatasi tantangan tersebut. Sedangkan orang yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usahanya atau bahkan menyerah sama sekali (Bandura dan Cervone; Brown dan Inouye; Schunk; Winberg, Gould, dan Jackson, dalam Bandura, 1986).
c.       Pola berpikir dan reaksi emosi.
Penilaian mengenai kemampuan seseorang juga mempengaruhi pola berpikir dan reaksi emosionalnya selama interaksi aktual dan terantisipasi dengan lingkungan. Individu yang menilai dirinya memiliki self efficacy rendah, merasa tidak mampu dalam mengatasi masalah atau tuntutan lingkungan, hanya akan terpaku pada kekurangannya sendiri dan berpikir kesulitan yang mungkin timbul lebih berat dari kenyataannya (Beck; Lazarus dan Launier; Meichenbaum; Sarason, dalam Bandura, 1986). Sebaliknya, individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan lebih memusatkan perhatian dan mengeluarkan usaha yang lebih besar terhadap situasi yang dihadapinya, dan setiap hambatan yang muncul akan mendorongnya untuk berusaha lebih keras lagi.
Self efficacy juga dapat membentuk pola berpikir kausal (Collin, dalam Bandura, 1986). Dalam mengatasi persoalan yang sulit, individu yang memiliki self efficacy tinggi akan menganggap kegagalan terjadi karena kurangnya usaha yang dilakukan, sedang yang memiliki self efficacy rendah lebih menganggap kegagalan disebabkan kurangnya kemampuan yang ia miliki.
d.      Perwujudan dari keterampilan yang dimiliki.
Banyak penelitian membuktikan bahwa self efficacy dapat meningkatkan kualitas dari fungsi psikososial seseorang (Bandura, 1986). Seseorang yang memandang dirinya sebagai orang yang self efficacy-nya tinggi akan membentuk tantangan-tantangan terhadap dirinya sendiri yang menunjukkan minat dan keterlibatan dalam suatu kegiatan. Mereka akan meningkatkan usaha jika kinerja yang dilakukan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan, menjadikan kegagalan sebagai pendorong untuk mencapai keberhasilan, dan memiliki tingkat stres yang rendah bila menghadapi situasi yang menekan. Individu yang memiliki self efficacy rendah biasanya akan menghindari tugas yang sulit, sedikit usaha yang dilakukan dan mudah menyerah menghadapi kesulitan, mengurangi perhatian terhadap tugas, tingkat aspirasi rendah, dan mudah mengalami stress dalam situasi yang menekan.

2.1.3.              Faktor Yang Mempengaruhi Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy dapat diperoleh dari empat prinsip sumber informasi yaitu: (1) pencapaian kinerja (performance attainment), (2) pengalaman orang lain (vicarious experience), (3) persuasi verbal (verbal persuasion), dan (4) keadaan dan reaksi fisiologis (physiological state).

a.       Pencapaian kinerja (Performance attainment)
Hasil yang didapatkan secara nyata merupakan sumber penting tentang informasi self efficacy karena didasari oleh pengalaman otentik yang telah dikuasai (Bandura,Adam, dan Beyer; Biran dan Wilson; Feltz, Landers, dan Raeder, dalam Bandura, 1986). Keberhasilan yang diperoleh akan membawa seseorang pada tingkat self efficacy yang lebih tinggi, sedang kegagalan akan merendahkan self efficacy, terutama jika kegagalan tersebut terjadi pada awal pengerjaan tugas dan bukan disebabkan oleh kurangnya usaha atau juga karena hambatan dari faktor eksternal. Keberhasilan yang terjadi karena bantuan dari faktor eksternal atau keberhasilan yang dicapai dianggap bukan sebagai hasil dari kemampuan sendiri tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap peningkatan self efficacy. Besarnya nilai yang diberikan dari pengalaman baru tergantung pada sifat dan kekuatan dari persepsi diri yang ada sebelumnya. Setelah self efficacy terbentuk karena keberhasilan yang berulang, kegagalan yang muncul tidak memberikan dampak yang besar terhadap penilaian individu terhadap kemampuannya.


b.      Pengalaman orang lain (vicarious experience).
Self efficacy dapat juga dipengaruhi karena pengalaman dari orang lain. Individu yang melihat atau mengamati orang lain yang mencapai keberhasilan dapat menimbulkan persepsi self efficacy-nya. Dengan melihat keberhasilan orang lain, individu dapat meyakinkan dirinya bahwa ia juga bisa untuk mencapai hal yang sama dengan orang yang dia amati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain bisa melakukannya, ia juga harus dapat melakukannya. Jika seseorang melihat bahwa orang lain yang memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia telah berusaha dengan keras, maka dapat menurunkan penilaiannya terhadap kemampuan dia sendiri dan juga akan mengurangi usaha yang akan dilakukan (Brown dan Inouye, dalam Bandura, 1986).
Ada kondisi-kondisi dimana penilaian terhadap self efficacy khususnya sensitif pada informasi dari orang lain. Pertama adalah ketidak pastian mengenai kemampuan yang dimiliki individu. Self efficacy dapat diubah melalui pengaruh modeling yang relevan ketika seseorang memiliki sedikit pengalaman sebagai dasar penilaian kemampuannya. Karena pengetahuan yang dimiliki tentang kemampuan diri sendiri sangat terbatas, maka individu tersebut lebih bergantung pada indikator yang dicontohkan (Takata dan Takata, dalam Bandura, 1986). Kedua adalah penilaian self efficacy selalu berdasarkan kriteria dimana kemampuan dievaluasi (Festinger; Suls dan Miller, dalam Bandura, 1986). Kegiatan yang bisa memberikan informasi eksternal mengenai tingkat kinerja dijadikan dasar untuk menilai kemampuan seseorang. Tetapi, sebagian besar kinerja tidak memberikan informasi yang cukup memenuhi, sehingga penilaian self efficacy diukur melalui membandingkannya dengan kinerja dari orang lain (Bandura, 1986).

c.       Persuasi verbal (Verbal Persuasion)
Persuasi verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa ia memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa yang diinginkan. Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan menunjukkan suatu usaha yang lebih keras jika dibandingkan dengan individu yang memiliki keraguan dan hanya memikirkan kekurangan diri ketika menghadapi suatu kesulitan. Namun, peningkatan keyakinan individu yang tidak realistis mengenai kemampuan diri hanya akan menemui kegagalan. Hal ini dapat menghilangkan kepercayaan orang lain kepada orang yang mempersuasi dan juga akan mengurangi self efficacy orang yang dipersuasi.
d.      Keadaan dan reaksi fisiologis (Physiological state)
Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi untuk memberikan penilaian terhadap kemampuan dirinya. Individu merasa gejala-gejala somatik atau ketegangan yang timbul dalam situasi yang menekan sebagai pertanda bahwa ia tidak dapat untuk menguasai keadaan atau mengalami kegagalan dan hal ini dapat menurunkan kinerjanya. Dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan stamina tubuh, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa sakit yang dia alami merupakan tanda - tanda kelemahan fisik, dan hal ini menurunkan keyakinan akan kemampuan fisiknya.
2.2.  Dasar Teori Kecemasan
Menurut Spielberger (1972) kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang di sertai dengan perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai “tekanan”, “ketakutan”, dan “kegelisahan”. State anxiety didefinisikan sebagai emosi tidak menyenangkan karena dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam dan berbahaya. Lebih lanjut lagi, Spielberger menggambarkan state anxiety seperti halnya menggambarkan kekhawatiran. Khawatir menunjukan komponen kognitif dari pengalaman kecemasan. Individu merespon sesuatu yang mengancam dengan rasa khawatir tentang situasi bahaya yang akan di hadapi dan mereka merasa tidak mampu untuk menghadapi hal yang mengancam tersebut.
Spielberger mendefinisikan kecemasan sesaat yaitu : State anxiety (A-State) may be conceived of as a complex, relatively unique emotional condition or reaction that may vary in intensity and fluctuate over time. More specifically, A-State may be conceptualized as consisting of unpleasant, concioulsy-percieved feelings of tension and apprehension with associated activation or arousal of the autonomic nervous system (Spielberger, 1972).
Kecemasan sesaat tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas dan setiap saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di konseptualiskan sebagai munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan takut (apprehension) yang di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
State anxiety adalah kondisi emosional yang sementara atau sesaat pada individu yang bersifat subjektif, karena adanya ketegangan dan kekhawatiran serta menghasilkan akifitas sistem saraf otonom. State anxiety memiliki variasi intensitas dan derajat yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi individu. State anxiety memberikan gambaran kecemasan yang di hayati sehubungan dengan penghayatan individu terhadap situasi yang akan menimbulkan kecemasan, dalam hal ini situasi menghadapi kebakaran.
Spielberger (1972) dan  rekanya membedakan antara state anxiety dan trait anxiety. State anxiety bersifat sementara, dimana kecemasan itu muncul ketika individu menerima stimulis yang berpotensi untuk melukai dirinya. Trait anxiety lebih mengarahkan pada kestabilan perbedaan personality dalam kecenderungan untuk merasa cemas. Trait anxiety tidak langsung telihat pada tingkah laku individu, tetapi dapat di lihat dari frekuensi states anxiety individu.
Spielberger, melihat ada tiga unsur faktor yang mempengaruhi penghayatan kecemasan, yaitu:
1.      Adanya perasaan ketidakpastian (uncertainty)
2.      Adanya perasaan ketidakberdayaan (helpleness)
3.      Dan kedua perasaan tersebut yang tertuju pada masalah yang akan dihadapi (future orientation).
Munculnya A-State melibatkan suatu proses atau rangkaian kejadian sesaat yang berkaitan dengan yang lain, yang ditandai baik oleh stimulus eksternal maupun internal yang diartikan sebagai bahaya atau ancaman bagi seseorang. Semua stimulus internal yang menyebabkan individu berfikir atau mengantisipasi situasi berbahaya atau menakutkan, dapat juga meningkatkan A-State menjadi lebih tinggi. Penilaian bahwa suatu stimulus atau situasi itu merupakan suatu ancaman, juga dipengaruhi oleh bakat, kemampuan dan pengalaman masa lalu dari individu. Seperti juga di pengaruhi oleh tingkat A-Traitnya (bagaimana keadaan individu pada umumnya atau biasanya ketika cemas atau kecemasan menetap) dan bahaya objektif yang ada dalam situasi tersebut.




 



















Bagan. Mekanisme munculnya Trait Anxiety dan State Anxiety

1)      Penilaian Kognitif
Penilaian kognitif individu terhadap stimusus yang dihadapi individu memegang peranan penting dalam memunculkan kecemasan sesaat. Penilaian kognitif terhadap stimulus sebagai sesuatu yang menakutkan, mengancam, dan sebagai sesuatu yang berbahaya dapat menyebabkan munculnya kecemasan sesaat dengan intensitas yang tinggi tanpa adanya pengaruh dari kecemasan dasar individu. Penilaian kognitif ini meliputu penilaian kognitif terhadap stimulus eksternal maupun stimulus internal. Penilaian kognitif terhadap stimulus eksternal sebagai sesuatu yang menakutkan merupakan ancaman bagi kondisi individu yang dapat menggugah munculnya kecemasan sasaat. Begitu juga dengan penilaian kognitif terhadap stimulus internal yang dapat menyebabkan individu berfikir atau mengantisipasi situasi yang menakutkan atau membahayakan juga dapat menggugah munculnya kecemasan sesaat dalam intensitas yang tinggi terlepas dari kecemasan dasar individu.
2)      Meningkatnya Aktivitas Sistem Saraf
Kecemasan sesaat yang muncul diikuti dengan peningkatan sistem saraf. Peningkatan sistem saraf ini meliputi perubahan sistem faal tubuh, misalnya mengeluarkan keringat secara tiba-tiba, nafas menjadi lebih cepat, jantung bertedak lebih cepat, tremor pada bagian tertentu. Munculnya masalah yang berkaitan psikosomatis tubuh, seperti menjadi sesak nafas, kepala menjadi pusing dan lain-lain.
3)      Munculnya Perasaan Cemas
Perasaan tegang dan cemas ini ditandai dengan adanya kesadaran individu mengenai munculnya kecemasan, adanya kemampuan individu untuk mengatasi kecemasan yang muncul, berkurangnya kemampuan konsenterasi individu dan munculnya perasaan gugup dan tegang yang dirasakan individu.
4)      Defence Mechanism
Pada kecemasan ini juga membahas atau menekankan pada pentingnya Defence Mechanism yang di lakukan individu pada saat berada pada situasi yang dinilai membahayakan. Defence Mechanism ini terjadi dari pentingnya proses kognitif dan juga pentingnya proses motorik untuk mengurangi kecemasan yang muncul.

Selanjutnya, Spielberger mengajukan huungan antara (State Anxiety) kecemasan sesaat dan (Trait Anxiety) kecemasan dasar sebagai berikut :
1.      Kecemasan sesaat muncul ketika individu merasa berada dalam situasi yang mengancam.
2.      Intensitas dari kecemasan adalah sebanding dengan besaranya ancaman yang dirasakan individu.
3.      Lamanya raksi kecemasan sesaat ini akan tergantung pada presistensi dan interpretasi mengancam yang dimiliki individu atas situasi yang dihadapinya (kecemasan sesaat akan berlangsung lama jika individu merasa terus menerus).
4.      Individu dengan kecemasan dasar yang tinggi akan mempersepsikan situasi, khususnya situasi yang mengandung unsur kegagalan atau ancaman terhadap self-efficacynya sebagai sesuatu hal yang lebih mengancam daripada individu dengan kecemasan dasar yang lebih rendah.
5.      Peningkatan kecemasan sesaat mempunyai stimulus dan penggerak (drive), yang mungkin dapat terlihat langsung melalui perilaku atau yang akan menggerakan pertahanan psikologisnya, yang pada masa lalu pernah berhasil mengurangi kecemasannya, atau yang di pandang efektif untuk meredakan kecemasan sesaat ini.
6.      Situasi-situasi menekan yang di hadapai dapat menyebabkan individu mengembangkan coping response atau membentuk defence mechanism untuk mengurangi kecemasan tersebut.



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.   Jenis penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan oleh penulis pada kesempatan ini adalah jenis penelitian non eksperimental. Penelitian non eksperimental adalah telaah empirik sistematis dimana ilmuwan tidak mengontrol secara langsung variable yang menifestasinya telah muncul, atau karena sifat hakekat variable itu memang menutup kemunginnan manipulasi (karlinger, 2006). Peneliti meneliti sejauh mana perubahan nilai suatu variabel berkaitan dengan perubahan nilai pada variabel lainnya dengan tidak memberikan intervensi atau perlakuan apapun.
Adapun di dalam penelitian non eksperimental ini,peneliti menggunakan spesifikasi jenis penelitian korelasional, dalam usaha untuk menjelaskan korelasi antara dua atau lebih gejala atau variabel (silalahi,1999). Dengan demikian melalui metode korelasional akan dicari hubungan antara variabel-variabel penelitian yang dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi. Metode ini digunakan sehubungan dengan tujuan dari peneliti ini yaitu untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat (state anxiety) berbicara di depan umum.  
3.2.    Variabel Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian korelasional dengan menggunakan dua variabel, yaitu :
·         variabel 1 adalah Self efficacy.
·         variabel 2  adalah kecemasan sesaat (state anxiety).
3.2.1        Definisi Konseptual
1.      Definisi Konseptual Self efficacy
Self efficacy menurut Bandura (1997) didefinisikan sebagai: “perceived self efficacy refers to beliefs in one’s capabilities to organize and executer the courses of action required to produce given attainments “.
Self efficacy merupakan suatu keyakinan sesorang akan kemampuan dirinya untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencapai tipe – tipe kerja yang dimaksud, yaitu dapat menampilkan perilaku yang dibutuhkan dalam mencapai tampilan atau hasil yang diinginkan darituntutan tugas yang diberikan.
Adapun keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya tersebut mencakup dimensi magnitude, strength, dan generality.

2.      Definisi konseptual State Anxiety
State anxiety (A-State) may be conceived of as a complex, relatively unique emotional condition or reaction that may vary in intensity and fluctuate over time. More specifically, A-State may be conceptualized as consisting of unpleasant, concioulsy-percieved feelings of tension and apprehension with associated activation or arousal of the autonomic nervous system (Spielberger, 1972).
Kecemasan sesaat tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas dan setiap saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di konseptualiskan sebagai munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan tegang (tension) dan perasaan takut (apprehension) yang di sertai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
3.2.2        Definisi Operasional
Dalam rangka memperoleh data yang relevan dengan hipotesis penelitian, maka perlu diadakan pengukuran terhadap variable yang telah di definisikan secara konseptual. Pengukuran terhadap variable tersebut dapat dilakukan setelah terlebih dahulu dibuat definisi variable secara operasional. Melalui definisi operasional ini ditetapkan langkah – langkah pelaksanaan dan pengukuran yang menggambarkan konsep variable yang hendak diukur.

a.      Keyakinan Akan Kemampuan Diri (Self efficacy)
Self efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki oleh mahasiswa akan kemampuan dirinya untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan ketika bimbingan skripsi untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan dari tuntutan tugas pembuatan skripsi. Untuk mengukur self efficacy didapatkan dari hasil skor total questioner self efficacy yang meliputi tiga dimensi, Menurut Bandura (1977), dimensi dalam self efficacy meliputi :
1)      Magnitude of self efficacy
Dalam hal ini magnitude merupakan tingkat keyakinan individu akan derajat kesulitan tugas. Yaitu tingkat keyakinan individu akan derajat kesulitan dari skripsi dan tuntutan selama melakukan bimbingan skripsi.
·         Penilaian individu terhadap derajat kesulitan skripsi
·         Pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas (level of difficulty).
·         Keyakinan mahasiswa akan sejauh mana kemampuannya untuk dapat mengatasi kesulitan dan tantangan dari tugas yang dihadapi berkaitan dengan aktivitas penyusunan skripsi.
2)      Strength of self efficacy
Merupakan seberapa besar kekuatan akan keyakinan individu mengenai kompetensi diri yang dimilikinya. Yaitu tingkat atau kuat lemahnya keyakinan individu terhadap kompetensi dirinya dalam melaksanakan aktivitas bimbingan skripsi.
·         Yakin terhadap kompetensi diri untuk mengerjakan skripsi.
·         Yakin dapat melaksanakan tugas dengan kemampuan yang dimiliki
·         Memiliki keyakinan yang positif akan keberhasilannya mengatsi dan memenuhi tuntutan tugas skripsi yang diberikan.
·         Ketekunan.
3)      Generality of self efficacy
Merupakan sebagai keleluasaan dari bentuk self efficacy yang dimiliki seseorang untuk digunakan dalam situasi lain yang berbeda.
·         Yakin mampu mengambil hikmah dari keberhasilan dari tugas yang telah di lakukan sebelumnya dalam mata kuliah Metlit dan Kontest.
·         Yakin mampu mengambil hikmah dari kegagalan dari tugas yang telah di lakukan sebelumnya dalam mata kuliah Metlit dan Kontest .
·         Yakin mampu memberikan dukungan pada diri sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam mengerjakan skripsi.
b.      Kecemasan Sesaat (state anxiety)
Kecemasan sesaat merupakan sejumlah skor total yang dicapai individu penelitian pada dimensi-dimensi dalam kecemasan sesaat ketika pemadam mendapatkan tugas memadamkan kebakaran. Kecemasan sesaat ditentukan oleh empat aspek yaitu:
1.    Penilaian kognitif, merupakan aspek internal dan eksternal yang berkaitan dengan penilaian pemadam kebakaran kota cimahi terhadap pemberian tugas memadamkan kebakaran.
2.    Peningkatan aktifitas sistem saraf, merupakan aspek yang berhubungan dengan adanya perubahan yang terjadi dan berkaitan dengan aktifitas sistem saraf manusia dan fisiologis manusia.
3.    Perasaan cemas dan tegang, merupakan aspek yang berkaitan dengan kesadaran individu mengenai munculnya kecemasan yang dirasakan dam mampu mengatasi atau menanggulanginya.
4.    Defence mechanism, merupakan aspek yang berhubungan dengan pentingnya proses yang dilakukan oleh individu untuk mengurangi kecemasan sesaat yang dirasakan muncul.

3.3.    Lokasi Penelitian dan subjek penelitian
3.3.1.      Lokasi
     Penelitian ini akan dilaksanakan di Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas Psikologi. Alasan peneliti mengambil sampel di Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas Psikologi karena mahasiswa yang mengerjakan skripsi adanya menunjukan self efficacy dan kecemasan.
3.3.2.      Populasi
     Menurut Arikunto (2002:108) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Azwar (2004:77) mengemukakan tentang populasi adalah sebagai kelompok subjek yang dikenai generalisasi hasil penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Universitas Jenderal Achmad Yani Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi dengan jumlah sekitar 76 orang.


3.3.3.       Teknik Penentuan Sampling

            Sampel yang digunakan sebanyak 76 orang (n = 76) dengan menggunakan teknik total sampling, dimana sampel yang digunakan merupakan populasi penelitian itu sendiri. Maksudnya seluruh populasi dalam penelitian ini diperlukan sebagai sample. Suharsini Arikunto (1988) mengungkapkan sebagai berikut : untuk sekedar perkiraan, maka apabila subjeknya kurang dari 100 orang, lebih baik diambil semuanya sebagai sampel.

3.3.4.      Karakteristik Sampel
Dengan karakteristik, sampel sebagai berikut :
·         Mahasiswa Unjani Fakultas Psikologi yang sedang menyusun skripsi.
·         Jenis kelamin pria dan wanita.
·         Yang sudah mencapai 8 semester atau lebih.
3.4.    Alat Ukur
3.4.1.                Kisi – Kisi Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang dirancang berdasarkan indikator-indikator yang berada pada definisi operasional, yang diturunkan dari konsep teori yang digunakan.
1)      Kisi-kisi alat ukur Self Efficacy
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner kecerdasan emosional yang diturunkan berdasarkan konsep Self Efficacy dari Bandura (1997), yang meliputi tiga dimensi self efficacy. Meliputi Magnitude, Strength, dan Generality.  
Skala self efficacy yang digunakan disusun dengan berdasarkan pada skala Liket, yang dimodifikasi menjadi 4 alternatif jawaban. Hal tersebut dilakukan dengan alasan :
·         Dengan disediakannya jawaban di tengah, akan menimbulkan kecenderungan untuk menjawab di tengah, selain itu juga menunjukan keragu-raguan atau netral.
·         Maksud jawaban dengan empat tingkat kategori untuk melihat kecenderungan pendapat responden kearah yang tidak sesuai, sehingga dapat mengurangi data penelitian yang hilang. (Sutrisno Hadi, 1991).

Kriteria penilaian skala pada alat ukur ini adalah sebagai berikut:
Item Positif
Sangat Setuju (SS)
4
Setuju (S)
3
Tidak Setuju (TS)
2
Sangat Tidak Setuju (STS)
1

Item Negatif
Sangat Setuju (SS)
1
Setuju (S)
2
Tidak Setuju (TS)
3
Sangat Tidak Setuju (STS)
4

2)      kisi-kisi alat ukur Kecemasan Sesaat (state anxiety) 
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner perilaku agresi yang diturunkan berdasarkan konsep teori state anxiety dari Speilberger (1972), yang meliputi empat dimensi yaitu penilaian kognitif, peningkatan aktifitas sistem saraf. Skala state anxiety yang digunakan disusun dengan berdasarkan pada skala Likert, yang dimodifikasi menjadi 4 alternatif jawaban, sebagai berikut :
Item Positif
Sangat Setuju (SS)
4
Setuju (S)
3
Tidak Setuju (TS)
2
Sangat Tidak Setuju (STS)
1

Item Negatif
Sangat Setuju (SS)
1
Setuju (S)
2
Tidak Setuju (TS)
3
Sangat Tidak Setuju (STS)
4

3.5.    Pengujian Alat ukur
3.5.1.      Validitas Alat Ukur
Validitas adalah ketepatan atau kesesuaian penilaian, maksudnya adalah apakan alat ukur tersebut benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Validitas yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan ini adalah validitas konstruk (Construct Validity), Jadi suatu alat ukur dikatakan valid apabila hasil yang didapatkan dari pengukuran ini sesuai dengan konsep operasional yang telah ditentukan atau apakah item-item tersebut sesuai dengan indikator dan dimensi yang ada pada teori yang digunakan (Agus Permana,2009).
Untuk menguji tingkat validitas alat ukur digunakan teknik korelasi, yaitu dengan mengkorelasikan masing-masing item pernyataan totalnya, yang bertujuan untuk memilih item-item yang benar-benar telah selaras dan sesuai dengan faktor yang ingin diteliti. Cara perhitungan uji coba validitas item yaitu dengan cara mengkorelasikan skor tiap item dengan skor total item. Metode penghitungan validitas alat ukur pada penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus koefisien korelasi Spearman’s rho dan perhitungannya dibantu dengan menggunakan program SPSS 17 for windows dengan rumus sebagai berikut :
     

Penentuan validasi item pernyataan/pertanyaan menggunakan batas koefisien korelasi terkecil berdasarkan parameter dari Guilford (1956). Kriteria koefisien korelasi menurut Guilford :

Koefisien Korelasi
Derajat Hubungan
0,00 – 0,20
Derajat hubungan tidak ada
0,21-0,40
Derajat hubungan rendah
0,41-0,70
Derajat hubungan sedang
0,71-0,90
Derajat hubungan tinggi
0,91-1,00
Derajat hubungan sangat tinggi

Langkah-langkah perhitungan Validitas SPSS 17.0 :
1.      Buka menu SPSS 17.00
2.      Klik “Type in data”
3.      Pindahkan seluruh skor responden pada setiap item dan total skor seluruh item pada kolom data view.
4.      Klik analize, pilih correlat, klik bivariete carrelation.
5.      Pilih Sperman pada correlated coefiticient
6.      Pilih two-failed pada kolom test of significance, kemudian tekan ok

3.5.2.      Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas adalah nilai yang menunjukkan sampai sejauh mana suatu alat ukur memiliki ketelitian, kepercayaan, ataupun kekonstanan. Apabila suatu alat ukur dapat dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dengan hasil pengukuran yang relatif konsisten, maka alat tersebut dikatakan reliabel. Metode penghitungan reliabilitas alat ukur pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik  Alpha Cronbach dengan menggunakan bantuan program SPSS 17 for windows dengan rumus sebagai berikut :



 




Keterangan :
rxx = Koefisien Reliabilitas
 k  = banyaknya pertanyaan (item)
sx2    = Jumlah skor dalam Variabel X
si2    = Pertanyaan (item) variabel yang spesifik.
Ssi2 = Jumlah semua pertanyaan (item) variabel
Dengan kriteria Brown Thompson sebagai berikut :
·         Jika Alpha Cronbach (α) ≥ 0,7 maka alat ukur tersebut dianggap reliabel
·         Jika Alpha Cronbach (α) ≤ 0,7 maka alat ukur tersebut dianggap tidak reliabel.
Langkah-langkah perhitungan SPSS 17.0 :
1.      Buka menu SPSS 17.0
2.      Klik “type in data”
3.      Masukan data hasil try out
4.      Klik analyze, kemudian pilih Scale, klik reability analiyze.
5.      Pindahkan semua angka pada kolom “item”
6.      Klik “statistic”, klik cheklist “scale” dan “if scale deleted” jika sudah selesai klik continue.
7.      Pilih model dengan memilih rumus yang digunakan. Misal : Alpha klik ok.

3.6.    Pengolahan Data / Analisa Data
Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji koefisien korelasi Rank Spearman yang digunakan untuk melihat sejauh mana korelasi antara dua variabel yang diujikan, Self efficacy dengan State anxiety. Alasan menggunakan koefisien korelasi Rank Spearman adalah karena data yang diperoleh merupakan data ordinal yang memiliki ciri sebagai berikut :
a.       Data berupa rangking
b.      Tidak memiliki angka nol mutlak
c.       Menunjukkan urutan
Keterangan :
rs = Koefisien Korelasi rank spearman
di = Selisih rangking daya variabel x dan variabel y
n = banyaknya sampel
Penentuan untuk menentukan kekuatan hubungan (strength of association) menggunakan parameter dari Champion, 1981. Kriteria koefisien korelasi menurut Champion
Koefisien Korelasi
Derajat hubungan
(+0,01) – (+0,25)
(-0,01) – (-0,25)
Hubungan lemah
(weak association)
(+0,26) – (+0,50)
(-0,26) – (-0,26)
Hubungan sedang
(moderately weak association)
(+0,51) – (+0,75)
(-0,51) – (-0,75)
Hubungan cukup
(moderately strong association)
(+0,76) – (+1,00)
(+0,76) – (+1,00)
Hubungan kuat
(strong association)

3.7.    Hipotesa Statistika
3.7.1.      Pengujian hipotesa
Kriteria pengambilan keputusan hipotesa adalah :
Jika H0 : r = 0 maka H0 ditolak : tidak ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat.
Jika H1 : r ≠ 0 maka H0 diterima : ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat.
3.7.2.      Hipotesa Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban, dugaan, penjelasan atau pernyataan tentatif mengenai suatu masalah yang dirumuskan dalam bentuk proposional dan dapat diuji secara empirik (Ulber Silalahi, 1999). Hipotesis penelitian yang telah disebutkan sebagai berikut :
H0 : r = 0 : Tidak terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada mahasiswa Unjani Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi.
Ha : r ≠ 0 : Terdapat hubungan antara self efficacy dengan kecemasan sesaat pada mahasiswa Unjani Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan skripsi.




3.8.    Prosedur Penelitian
3.8.1.      Tahap Persiapan penelitian
1.                  Mempersiapkan perizinan yang diperlukan untuk melakukan penelitian dari pihak Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani.
2.                  Mencari literature
3.                  Melaksanakan observasi lapangan terhadap objek penelitian
4.                  Melakukan Perumusan masalah

3.8.2.      Tahap Pelaksanaan Penelitian
3.8.3.      Tahap Penyelesaian



DAFTAR PUSTAKA
·         Bandura, A. (1995). Self efficacy in changing societies. New York : Cambridge University Press.
·         Saiffudin Azwar, 1999, Dasar – dasar psikometri (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).
·         Ulber Silalahi, 1999, Metode dan metodologi penelitian (Bandung : Bina Budaya)
·         M. Anton Oktary K., 2007, Skripsi : Hubungan self efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan Tugas Akhir.
·         Rindi O., 2005, Skripsi : Hubungan Kecemasan dengan self efficacy ketika Presentasi di kelas.


4 comments: